Pages

Ahad, 23 Januari 2011

Bersangka Baiklah dengan Saudaramu

Bismillah...



Sebelum ini, saya pernah menukilkan satu dari cara mengelakkan perpecahan di kalangan umat Islam iaitu “berdiam diri”. Satu lagi cara yang dibawakan oleh Shaikh 'Abdul-Muhsin Al-'Abbaad dalam risalah bertajuk رفقا أهل السنة بأهل السنة [Bersikap Lembutlah Terhadap Sesama Ahlus Sunnah] ialah dengan “Bersangka Baik”. Di sini saya telah salin dan suntingkan dari terjemahannya yang berbahasa Indonesia bertajuk Hukum Berburuk Sangka Dan Mencari-cari Kesalahan.



Kebaikan bersangka baik



Sebelum anda membaca tulisan tersebut, saya kongsikan di sini beberapa kebaikan “berbaik sangka” yang boleh saya difikirkan :
  1. Hati merasa tenang (tidak tertekan), berbeza keadaannya ketika bersangka buruk.
  2. Mengeratkan silaturahim sesama Islam kerana bersangka baik boleh menghapuskan permusuhan dan kebencian
  3. Bersangka buruk boleh mengelakkan dosa mengumpat dan fitnah
  4. Tidak membazir masa untuk memikirkan perkara yang tiada manfaatnya
  5. Mengelakkan diri dari dipengaruhi syaitan. Syaitan sentiasa mencari ruang untuk menimbulkan permusuhan antara umat Islam.


HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN

Allah Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, kerana sesungguhnya sebahagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]



Dalam ayat ini mengandungi perintah untuk menjauhi sikap banyak berprasangka, kerana sebahagian dari tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus yaitu mencari-cari kesalahan-kesalahan atau keburukan-keburukan orang lain, yang biasanya merupakan kesan dari prasangka yang buruk.



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ ، وَلاَ تَحَسَّسُوا ، وَلاَ تَجَسَّسُوا ، وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, kerana sesungguhnya prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita keburukan, saling mengintai atau mengintip (untuk mencari kesalahan), saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]



Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin, kecuali dengan sangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”



Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas, saat menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.



Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya boleh kita dapatkan dari kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Berhati-hatilah kamu terhadap suatu ucapan yang seandainya kamu benar di dalamnya, maka kamu tidak diganjarkan pahala. Namun seandainya kamu salah di dalamnya, maka kamu berdosa. Yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu”



Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285), bahawa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jarmi berkata: “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, ‘Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat, yang tidak saya ketahui (sehingga melakukan perbuatan tersebut)’.”



Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan keburukan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandang wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Rom?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Rom, Sind, Hind dan Turki selamat dari keburukanmu, sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari keburukanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi perbuatan seperti itu” [Lihat Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]



Komen saya, “Alangkah baiknya jawapan dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawapan di atas merupakan salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.



Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (menggali-gali) aib-aib orang lain, dengan mefokuskan diri dalam memperbaiki kelemahan-kelemahannya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan keburukan dirinya sendiri dan melupakan keburukan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa letih. Setiap kali dia melihat keburukan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa kehinaan yang sama tatkala melihat keburukan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang sentiasa sibuk memperhatikan keburukan orang lain, dan melupakan keburukannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan susah baginya meninggalkan keburukan dirinya”.

Beliau juga berkata di hal.133, “
Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sementara itu prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal (al-aqil) akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh (al-jahil) akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.



Tamat nukilan.

Beberapa bahan bacaan berkaitan tentang sangka baik dan sangka buruk